KARANGANYAR, ragamsoloraya.com – Tempat angker, kini dan sekarang sudah berbeda, di mana dulu, orang-orang tidak menyukai berada di tempat angker, karena dianggap memiliki penunggu yang tidak lain adalah makhluk gaib.
Yant Subiyanto, Ketua DPD P4MTRI Jawa Tengah atau Perkumpulan Penggiat Pariwisata Mice Travel Restoran Indonesia, menegaskan bahwa istilah angker mungkin sudah jarang ditemui, karena tempat yang dulu angker, sekarang malah banyak menjadi tempat wisata.
Menurut Yant Subiyanto, sebuah tempat dikatakan angker maka semakin jarang orang berani mendekati, ataupun beraktivitas di sekitarnya.
“Beberapa tempat yang disebut angker, bahkan sangat sering ada penjaga khusus atau sering disebut Juru Kunci,” ujar Yant Subiyanto, Senin (10/11/2024).
Konon, dikatakan Yant Subiyanto, Juru Kunci merupakan penghubung seseorang dengan penunggu tempat angker, seperti sumur tertentu, mata air, kuburan, pohon besar, peninggalan leluhur, perbatasan wilayah dan lainnya.
Yant menambahkan bahwa dahulu banyak peninggalan bangunan Belanda dan Jepang, yang disebut sebagai tempat angker.
Beberapa umbul atau mata air, yang biasanya mengalir terus menerus, sering disebut angker, bahkan pohon besar, terkadang juga dipagari dan dirawat.
Selain itu, makam tokoh tertentu, tempat atau petilasan para leluhur masa lalu yang dikeramatkan juga sering dianggap sebagai tempat angker.
Di beberapa daerah, pohon, tempat atau apapun yang disebut angker, akan dikaitkan dengan makhluk gaib penunggu, seperti buto, gendruwo dan berbagai nama jin lainnya.
Di tempat-tempat seperti ini, dikatakan Yant Subiyanto sebagian juga dilakukan sesaji, sehingga semakin terjaga angkernya.
Yant menyoroti, dalam kacamata keramahan lingkungan dan bijak dalam pemberdayaan semesta, para pendahulu sangat arif bijaksana, karena menjaga lingkungan, sarana yang memiliki nilai potensial baik bagi masyarakat umum ataupun tertentu dengan menyebut “angker”.
Selain itu, para pendahulu juga sengaja menanam simbol atau pengikat jin di tempat tertentu, agar terjaga.
Semakin angker, maka orang akan semakin berhati-hati dan menghormati tempat tersebut, sebut saja tidak menebang pohon sembarangan, tidak mempergunakan air secara membabi buta.
“Tidak terjadi eksploitasi ngawur, semua harus pakai adat khusus,” tegas Yant Subiyanto.
Ketika sematan “angker” masih melekat, Yant Subiyanto menyebutkan, pepohonan terjaga bahkan berumur ratusan tahun, sumber air terjaga, benda atau bangunan masa lampau / sejarah terjaga, sehingga memiliki nilai sangat tinggi.
Kesadaran pendahulu dengan membubuhkan sebutan angker, bukan semata-mata urusan gaib dan kemusyrikan, namun dikatakan Yant Subiyanto lebih pada penjagaan semesta sehingga alam dijaga, digunakan secara arif dan bijaksana.
Melalui adat dan tata cara khusus, dikatakan Yant Subiyanto maka tidak terjadi ekploitasi di luar batas kewajaran.
Dalam konsep penjagaan semesta, keramahan terhadap alam sangat diperlukan, sehingga alam memberikan banyak kemanfaatan kepada manusia dan lainnya.
Yant Subiyanto menambahkan, ketika sumber air terjaga, maka warga sekitar akan terus dapat mengambil manfaat, karena pepohonan besar terjaga, maka sumber air dan simpanan air semakin baik dalam bumi.
“Bangunan atau situs masa lalu terjaga, maka nilai sejarah menjadi sangat tinggi di kemudian hari,” tutur Yant Subiyanto.
Yang terpenting disebutkan Yant Subiyanto bahwa penjagaan bukan pada sisi keluar dari aturan hukum, ekologis, baik sisi agama atau aturan lain.
Saat melihat langsung, banyak tempat terjaga secara baik, karena masih dengan cara bijak lama dalam penjagaannya.
Sementara eksploitasi masa kini, yang kadang tidak bijaksana dan ramah terhadap semesta, membuat semesta tidak ramah lagi, mengakibatkan kekeringan, longsor, banjir dan lainnya.
Bagimana angker menurut kacamata Anda?
Semoga tulisan tentang Tempat Angker Itu jadi Keramahan Semesta, dapat bermanfaat bagi para pembaca, jangan lupa share dan nantikan selalu tulisan lain hanya di ragamsoloraya.com. (Astrid)